Edukasi tentang perubahan iklim tidak bisa sepenuhnya membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya Energi Baru Terbarukan (EBT), namun ketika tarif listrik dan bahan bakar naik, masyarakat sadar bahwa perlu ada pergeseran sumber konsumsi energi di negaranya. Kondisi inilah yang disebut krisis energi akibat ketergantungan pada energi fosil, yakni kekurangan suplai energi yang meningkatkan harga dalam persediaan sumber daya energi. Krisis ini biasanya menunjuk ke kekurangan minyak bumi, listrik, atau sumber daya alam lainnya yang berisiko mengakibatkan banyak resesi dalam beberapa bentuk.
Krisis energi yang akhir-akhir ini terjadi di Eropa telah membunyikan alarm kesiagaan dunia untuk segera beralih pada EBT. Peningkatan harga minyak mengakibatkan harga listrik untuk melonjak lebih dari 15 persen di Jerman dan hampir 14 persen di Perancis. William Derbyshire, Director Economic Consulting Associates (ECA) menjelaskan bahwa ketergantungan Eropa terhadap energi fosil tercermin pada bauran pembangkit listriknya yang menempatkan porsi gas sebanyak 42%, sementara untuk energi terbarukan hanya didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan porsi sebesar 16%.[1]
Krisis energi di Eropa menjadi pelajaran bagi banyak negara, terutama Indonesia untuk dapat menjaga ketahanan energinya dengan mengurangi ketergantungan pada pasar energi fosil, mempersiapkan secara matang transisi energi, dan melakukan diversifikasi energi, terutama energi terbarukan. Indonesia sendiri memiliki potensi EBT yang cukup besar antara lain: mini/micro hydro sebesar 450 MW; Biomass 50 GW; energi surya 4,80 kWh/m2/hari; energi angin 3-6 m/det; dan energi nuklir 3 GW.[2] Dengan pengembangan potensi tersebut, Indonesia sangat mungkin dapat menjadi negara terdepan dalam produksi EBT di dunia.
___________________________________________